17 Oktober 2004
Pagi ini tidak ada yang berbeda. Sekumpulan anak yang sedang menyalin PR, bermain gitar dan bermain kartu. Semua tampak sama. Sepintas aku ingin ada yang berbeda hari ini. Berharap sesuatu terjadi.
KRIIIIIING!
Bel masuk sekolah samar-samar terdengar di telingaku, membuyarkan lamunanku. Anak-anak berhamburan kedalam kelas diikuti guru dibelakangnya.
“Siapa yang tidak hadir hari ini?” Tanya Bu Susi, guru bahasa Indonesia di SMA Nusa Bangsa. Mataku menyapu seisi kelas. Lengkap. Tunggu…Langit belum datang.
“Mungkin Langit terlambat, Bu.” kataku pada Bu Susi.
Dua jam. Tiga jam. Empat jam. Langit tidak kunjung datang. Aku agak khawatir dengan sahabatku itu, yang akhir-akhir ini agak berubah. Ya, Langit adalah sahabatku di SMA. Lahir dari keluarga yang kaya raya, tidak membuat dia tinggi hati. Banyak yang iri karena aku dekat dengan Langit, terlebih lagi dengan rupanya yang tampan dan tubuh tinggi semampai. Orangtuanya adalah direktur perusahaan ternama yang mempunyai cabang di luar negeri. Sayang, ibunya meninggal saat dia masih berumur 10 tahun. Langit pernah bercerita bahwa ayahnya sedikit berubah sejak kematian ibunya. Lebih sering berada di luar negeri, bekerja dan bekerja.
Pulang sekolah langsung kuhubungi nomer Langit, tetapi tidak ada jawaban. Kudatangi rumahnya, juga kosong. Tetangganya mengatakan bahwa rumah itu sudah kosong sejak kemarin. Begitupun keesokan harinya. Sama saja.
24 Oktober 2004
Sudah seminggu Langit ‘hilang’. Tidak ada yang tahu keberadaannya sekarang. Padahal hari ini adalah hari ulang tahunku. Dia pernah berjanji untuk mengucapkan selamat ulang tahun paling pertama. Sepanjang hari aku menunggu ucapan selamat ulang tahun dari Langit. Tapi nyatanya sampai keesokan hari juga tidak ada tanda-tanda dia masih ‘ hidup’. Tiba-tiba seminggu kemudian Bu Susi mengumumkan bahwa Langit tidak lagi sekolah di sini. Aku kaget luar biasa. Dia bahkan tidak berpamitan, tidak memberitahuku kalau dia akan pindah sekolah. Kali ini perasaanku benar-benar campur aduk. Antara sedih dan marah. Marah karena dia pergi tanpa kabar. Sedih karena…aku tidak bisa melihatnya lagi setiap hari, duduk di bangku di belakangku. Jujur aku suka Langit. Aku kagum padanya, dengan cara dia menghadapi hidupnya yang tak seindah yang orang lain bayangkan. Memang benar bahwa uang tidak bisa membeli segalanya, tidak bisa membeli kebahagiaan sebuah keluarga.
Lama aku mencari-cari keberadaan Langit, sampai akhirnya aku benar-benar sampai di ujung jalan. Aku lelah mencari tanpa hasil. Ya, semua yang bertemu pasti akan dipisahkan. Walaupun dengan cara yang tidak diinginkan.
31 Oktober 2004
Minggu berikutnya sekolahku libur. Iseng-iseng kulihat kotak pos di depan rumah. Ternyata ada paket, dan isinya sebuah origami bangau kertas. Aku keheranan. Siapa pula yang mengirim ini? Rasanya aneh ada yang mengirim sebuah bangau kertas. Kusimpan bangau itu di sudut meja belajar. Keesokan harinya aku menerima bangau kertas itu lagi, dengan warna yang berbeda. Begitu pula seterusnya, setiap hari aku mendapat bangau kertas. Karena sudah terlalu banyak akhirnya kusimpan di sebuah toples kaca. Terlihat sangat indah. Tapi aku masih penasaran siapa yang mengirim itu, karena tidak pernah diketahui siapa pengirimnya. Bangau-bangau kertas terus ‘berterbangan’ ke rumahku. Setiap hari, tanpa terlewat satu haripun. Di setiap kertas tertulis angka 1, 2, 3 dan seterusnya. Sampai akhirnya sampailah pada bangau kertas yang ke 999. Setelah itu aku tidak pernah menerima kiriman bangau kertas lagi. Berhenti sampai disitu.
***
5 Agustus 2007
Kulirik jam tanganku, jarum menunjukkan pukul 10.00 WIB. Dua jam lagi pesawatku akan berangkat menuju Jerman. Akhirnya cita-citaku untuk sekolah di luar negeri tinggal selangkah lagi. Aku berjalan terburu-buru menuju terminal keberangkatan.
BRUK!
“Ah! Maaf banget ya, saya buru-buru!” Kataku sambil memngambil barang-barang yang terjatuh. Mataku tertarik pada sebuah bangau kertas yang tergeletak dilantai. Kuambil bangau itu dan kukembalikan padanya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Dulu aku pernah mendapat banyak bangau kertas dari orang tak dikenal, dan aku tersenyum sendiri.
“Itu bangau yang ke-1000.” Orang yang kutabrak berbicara.
“Hah? Maksudnya?”
“Itu bangau kertas yang ke-1000.” Orang tersebut berkata sambil tersenyum. Matanya terlihat berbinar-binar. Wajahnya…mirip seseorang yang dulu aku kenal. Mirip……..
“Ini aku, Langit!”
Aku masih bingung, tambah bingung dengan pengakuannya tadi. Aku mematung, tidak bisa berkata apa-apa. Ya, aku masih ingat Langit. Tiga tahun lalu dia menghilang seperti ditelan bumi. Tanpa kabar dan berita. Aku memperhatikannya cukup lama. Ragu, kaget. Ingin rasanya aku berteriak dan berlarian.
Dia meyakinkanku sekali lagi. Dia mengatakan tentang janji untuk mengucapkan selamat ulang tahun yang tidak ia tepati.
“Karena itu….aku kirim bangau kertas ini setiap harinya sampai 1000 buah sebagai hadiah sekaligus permintaan maaf…..aku harap kamu ingat.” Aku masih tidak bisa percaya itu Langit. Di saat yang tidak terduga, aku bertemu kembali dengannya.
Ternyata selama ini Langit sibuk mengurus perusahaan yang berada dalam masalah, atas permintaan ayahnya yang sakit keras. Beliau meminta Langit untuk tidak pulang ke Indonesia, dan tidak bisa menghubungiku. Memang benar, apabila Tuhan berkehendak, pasti akan terjadi walaupun disaat yang tidak terduga. Tapi aku harus pergi dan kali ini Langit berjanji akan menungguku pulang dari Jerman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar